Senin, 21 Februari 2011

KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS DALAM SEBUAH POTRET KETIDAK BERDAYAAN


     Kebijakan pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas bagaikan sebuah “bola panas” yang digulirkan  oleh pemerintah kepada rakyat ditengah himpitan ekonomi yang semakin membebani mereka. Rakyat seakan dipaksa mau tak mau, suka tak suka untuk mengamini kebijakan pemerintah tersebut.
            Seperti kebijakan pemerintah yang sebelumnya ,kebijakan konversi minyak tanah ke gas seakan kembali mengorbankan nasib rakyat. Menurut  wakil presiden Jusuf Kalla kebijakan tersebut diambil untuk mengurangi  beban APBN yang selama ini tersedot untuk mensubsidi bahan bakar minyak untuk rakyat. Sebagai pengganti subsidi pemerintah akan membagikan kompor dan tabung gas gratis kepada rakyat. Dengan pemberian tersebut diharapkan rakyat akan beralih dari penggunaan minyak tanah bahan bakar gas.(kompas 21 maret 2008)
            Tetapi dalam mengambil kebijakan konversi pemerintah seperti tidak memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi dari rakyat yang menjadi tujuan program tersebut. Dengan pencabutan subsidi harga minyak tanah akan naik dan dikhawatirkan akan menimbulkan “efek domino” terhadap harga kebutuhan pokok lain. Hal ini justru akan semakin menambah beban kehidupan rakyat.
            Bagi mereka konsumen rumah tangga kebijakan konversi ibarat sebuah “sok terapi” yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka. Bagaimana tidak karena selama ini mereka dengan murah dan mudah dapat memperoleh minyak, kini mereka harus mengantri dan membayar mahal untuk dapat membeli  5 liter minyak tanah  yang dijatah oleh pemerintah sambil menuggu program konversi berjalan.sementara untuk beralih pemakaian ke gas dirasakan berat oleh mereka karena harga gas tidak sesuai dengan pendapatan harian mereka kalo minyak tanah dapat mereka beli dengan cara mengecer seharga Rp. 3,500/liter sementara harga gas mencapai Rp. 15,000/tabung. Yang tentu tidak terjangkau oleh mereka.(wartakota 10 februari 2008)
            Bagi mereka pedagang minyak tanah keliling konversi sama saja mematikan mata pencaharian mereka, kerena untuk dapat beralih menjadi pedagang gas keliling dibutuhkan modal yang tidak sedikit. Selain itu bagi mereka yang sudah beralih menjadi pedagang gas keliling juga mengeluhkan lesunya daya beli masyarakat serta keuntungan yang mereka peroleh sebagai pedagang gas keliling tidak sebesar ketika mereka berjualan minyak tanah, hal tersebut membuat mereka merugi karena antara modal yang dikeluarkan dengan keuntungan yang didapat tidak sebanding.(kompas 21 maret 2008)
            Bagi para pedagang kaki lima, mereka mengeluhkan kualitas dari kompor dan tabung gas yang dibagikan oleh pemerintah karena dinilai oleh mereka sangat merugikan. karena ketika mereka masih menggunakan kompor minyak tanah, mereka sehari hanya mengeluarkan uang Rp. 18.000 – Rp. 21.000 untuk 6 liter minyak tanah sehari. Kini mereka harus mengeluarkan uang Rp. 45.000. per hari untuk membeli 3 tabung gas. Hal ini disebabkan Karena nyala api yang dihasilkan kompor gas terlalu besar dan banyak tabung gas yang bocor sehinga menjadi boros.(poskota 2 maret  2008)
            Bagi mereka para nelayan konversi  mempersulit mereka untuk melaut  karena minyak tanah yang mereka gunakan untuk campuran bahan baker kapal mereka  harganya menjadi mahal karena tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah. yang tadinya harga minyak tanah dapat mereka beli dengan harga Rp. 3.500/liter kini mereka harus membeli minyak tanah seharga Rp. 8.300/liter. Selain itu hal tersebut diperparah lagi dengan  terjadi kelangkaan minyak tanah di sekitar pelabuhan. Hal tersebut membuat mereka tidak dapat melaut karena tidak ada bahan bakar yang harganya murah untuk kapal mereka.
            Seharusnya pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan jangan hanya mendasarkan pada untung - rugi semata, seharusnya kebijakan yang di buat berdasarkan kemanfaatan bagi rakyat bukan justru menambah beban hidup rakyat. Bukankah tujuan dari Negara kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencapai kesejahteraan rakyat dan bukan hanya mencapai pertumbuhan ekonomi diatas kertas semata.
            Bukankah subsidi merupakan hak dari rakyat karena sudah menjadi kewajiban dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sebenarnya bukan subsidi yang menjadi beban utama dari APBN tetapi yang menjadi beban utama dari APBN adalah terlalu besarnya hutang yang di buat oleh  swasta dan kemudian dibebankan pada pemerintah  seperti dalam kasus BLBI (bantuan likuiditas bank Indonesia) dimana negara dibebankan untuk membayar hutang yang  dibuat oleh para obligor pengemplang dana BLBI tersebut sebesar RP600 triliun, belum lagi pemerintah juga dibebani untuk membayar bunga obligasi rekap sebesar Rp.40 – Rp.50 triliun pertahun hingga tahun 2021. dan hal ini diperparah dengan penguasaan ladang- ladang minyak yang didominasi oleh perusahaan asing, sementara pemerintah melalui pertamina hanya menguasai 10% dari total ladang minyak yang ada di negri ini.(republika 22 maret 2008)
            Konversi merupakan sebuah potret ketidak mampuan pemerintah untuk mengembalikan uang Negara yang telah dicuri oleh para koruptor. dan  untuk menutup besarnya defisit dari APBN. lagi-lagi rakyatlah dijadikan “korbanya” dengan dalih penghematan APBN karena besarnya dana subsidi untuk rakyat dengan cara mengkonversi minyak tanah ke gas.oleh sebab itu hanya ada satu kata untuk menyikapinya yaitu lawan…!!!

0 komentar:

Posting Komentar