Bisa dibuka di sini
Gubernur DKI Jakarta akhirnya menaikkan upah minimum provinsi (UMP)
menjadi Rp 2,2 juta. Kebijakan ini tentunya menimbulkan pro kontra dari
berbagai pihak.
Pihak yang merasa diuntungkan tentunya para pekerja dan serikat buruh
yang terus menuntut kenaikan upah. Di sisi lain, para pengusaha menilai
kebijakan ini sangat memberatkan mereka karena biaya (cost) yang harus
mereka keluarkan untuk gaji pegawai menjadi lebih besar.
Para akademikus ikut terbelah dalam menilai kebijakan ini, ada yang
setuju, namun lebih banyak yang menyuarakan kritikan terhadap kebijakan
ini. Pihak yang setuju dengan kenaikan upah minimum menganggap bahwa
dengan dilakukannya kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan
standar hidup kelompok masyarakat miskin, serta meningkatkan standar
hidup secara keseluruhan.
Di sisi lain, kenaikan upah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas
pekerja dan juga menuntut mereka mengikuti pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan. Kelompok yang kontra dengan kebijakan ini juga memiliki
alasan logis.
Dengan adanya kebijakan menaikkan upah minimum, pihak yang akan sangat
dirugikan adalah usaha kecil yang tidak mampu membayar pekerjanya lebih
tinggi. Kenaikan upah juga diperkirakan akan meningkatkan harga sebagai
imbas dari naiknya upah dan biaya produksi produsen.
Isu upah minimum telah menjadi perdebatan secara global. Sejak
diperkenalkan pertama kali pada 1894 di Selandia Baru, pro kontra
tentang perlunya menaikkan upah minimum terus bergejolak.
Terakhir majalah The Economist edisi 24 November 2012 memuat satu
artikel mengenai kebijakan ini. Menariknya, dalam artikel tersebut
diangkat beberapa temuan yang menunjukkan bahwa ternyata pelaksanaan
kebijakan upah minimum secara moderat bisa memberikan manfaat.
Salah satu penelitian yang menemukan manfaat dari kebijakan upah minimum
adalah studi yang dilakukan David Card dan Alan Krueger (1994). Mereka
mencoba melihat dampak kenaikan upah minimum terhadap restoran fast food
di New Jersey dan Pennsylvania, Amerika Serikat.
Hasilnya adalah setelah dilakukannya kebijakan kenaikan upah minimum,
ternyata terjadi kenaikan jumlah pekerja, berbeda dengan teori ekonomi
yang menyatakan sebaliknya.
Temuan ini dikritik berbagai pihak, salah satunya peraih Nobel Ekonomi
tahun 1992, Gary Becker.Studi terbaru yang dilakukan Newmarket al (2012)
juga senada dengan Becker.
Dalam kajian ini, mereka menemukan bahwa ternyata kenaikan terhadap upah
minimum memberikan dampak yang sangat buruk bagi tingkat pengangguran.
Temuan ini membantah studi yang dilakukan Card dan Krueger sebelumnya.
Kerangka Ekonomi
Dari sisi ekonomi, temuan Card dan Krueger sangat berbeda dengan teori
ekonomi yang selama ini terjadi. Kenaikan upah minimum menyebabkan
terjadinya peningkatan jumlah pekerja (supply of labour). Kondisi ini
karena naiknya upah minimum menjadi insentif bagi para pekerja untuk
masuk kedalam pasar tenaga kerja (labour market).
Di sisi lain, kenaikan upah menyebabkan perusahaan mengalami kenaikan
biaya yang harus mereka keluarkan. Akibatnya, perusahaan harus
mengurangi jumlah pekerja (demand for labour) yang akan dipekerjakan
untuk menghindari kemungkinan rugi akibat biaya yang semakin membengkak.
Karena jumlah pekerja yang tersedia lebih besar daripada kemampuan
perusahaan untuk mempekerjakan pegawai, timbullah kelebihan jumlah
pekerja (excess supply of labour) dan mereka ini yang masuk ke dalam
kelompok pengangguran (unemployment). Inilah yang melandasi kenapa
banyak akademikus menentang kebijakan kenaikan upah.
Tidak hanya itu, dari sisi pekerjanya sendiri, kebijakan kenaikan upah
minimum tentunya akan sangat merugikan pekerja yang memiliki kualifikasi
yang sangat rendah (unskilled labour) karena perusahaan hanya akan
menerima pekerja dengan kualifikasi yang tinggi (skilled labour) sesuai
dengan biaya yang mereka keluarkan. Realitas inilah yang menjadi
ketakutan banyak pihak sebagai imbas dari kenaikan upah minimum di DKI
Jakarta.
Keputusan yang dibuat gubernur tidak hanya meningkatkan kemungkinan
bertambahnya tingkat pengangguran, tapi di sisi lain kebijakan ini akan
menjadi pintu masuk bagi masyarakat di daerah untuk mencoba peruntungan
datang ke Jakarta dan tentunya menambah jumlah penduduk Ibu Kota yang
harus diurus oleh pemerintah.
Belajar dari Inggris
Kebijakan upah minimum yang dilakukan Inggris bisa menjadi contoh yang
baik jika ingin tetap melakukan kebijakan upah minimum. Kebijakan yang
diterapkan melakukan pendekatan yang berbeda, baik bagi pekerja senior
maupun pekerja usia muda. Pemuda mendapatkan upah minimum yang lebih
rendah dibandingkan yang diperoleh pekerja senior.
Perbedaan ini akan berubah tiap tahun sehingga pada akhirnya para
pekerja usia muda memiliki upah minimum yang sama dengan pekerja senior.
Pada saat ini, dampak dari kebijakan upah minimum terhadap pengangguran
tidak terlalu besar atau tidak ada.
Dampak yang paling mencolok dari kebijakan ini adalah penyebaran upah.
Kebijakan ini sepertinya mampu meningkatkan pendapatan secara menyeluruh
dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Kesenjangan upah di Inggris
telah menurun drastis semenjak 1990-an.
Pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini adalah perempuan yang
pendapatannya tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan pekerja
laki-laki. Pihak lain yang diuntungkan melalui kebijakan ini adalah para
pekerja yang selama ini memperoleh pendapatan sangat rendah.
Sekarang
tugas pembuat kebijakan adalah memastikan kebijakan ini tidak
menimbulkan efek negatif bagi pasar tenaga kerja. Ini menjadi sangat
penting mengingat saat ini pasar tenaga kerja kita sangatlah besar
dengan jumlah pemuda yang semakin besar dan harus bisa dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
*Penulis adalah Mahasiswa Master bidang Ekonomi di University of York, Inggris, peraih beasiswaunggulan Dikti 2012.
0 komentar:
Posting Komentar